Dari dulu, aku menganggap kamar
mandi adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri. Ya,
karena aku sendiri dan telanjang di dalamnya. Tanpa tertutup seutas benangpun
di atas tubuh kecilku yang meliuk (uw, pasti kau sudah membayangkan betapa
seksinya aku J). Di kamar mandi itu
pula, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, aku bisa bernyanyi, menjerit dan
suara air yang mengalir dari kran pun akan menenggelamkan suaraku bersamanya,
sehingga tak ada seorang pun yang mendengar jerit atau nyanyiku. Tangis juga
begitu, air mata itu hanya mengalir menjadi bagian dari air yang tumpah dari
baknya yang kepenuhan, menjadi bagian yang bahkan tak terlihat bedanya. Padahal
air mata itu jatuh dari organ manusia, yang bernyawa, tapi tak berbeda dengan
air yang mengalir pada pipa-pipa panjang menuju tuan kamar mandi.
Di kamar mandi, aku biasanya
menemukan ilham-ilham yang jadi bahanku untuk menulis suatu karya. Bukan, aku
belum pantas menyebutnya karya, mungkin aku akan menamai tulisanku sebagai isi
hati diatas kertas putih. Sayangnya, aku tidak mungkin membawa kertas dan pena
kedalam kamar mandiku, karena kamar mandi yang ada dirumahku, bukan kamar mandi
gedongan yang “kering”, tapi kamar mandi yang terdiri dari satu buah bak mandi
kotak, dan kloset jongkok didalamnya. Bagaimana aku bisa menulis? Jadi, yang
kulakukan hanyalah mencoba menyimpan ilham-ilham tadi kedalam memoriku yang
kerjanya seperti kereta pakuan ekspress,, cepat sekali berlalu dari satu
stasiun ke stasiun lainnya. Sehingga, ribuan ide cemerlang tadi akan segera
lenyap bersamaan dengan keringnya tubuhku yang dibalut handuk. Sial!
Kamar mandi bisa menjadi
sahabatku, tapi juga musuhku sekaligus. Bayangkan, betapa dia memberikan aku
ruang untuk berpikir mengenai hal-hal yang dapat aku tuliskan, tapi dengan
berakhirnya waktuku di kamar mandi, dia juga turut mengajak ide tersebut
tercebur ke dalam septiteng pembuangan. Ah! Menyebalkan sekali rasanya
mengetahui hasil pemikiran tersebut dimakan hidup-hidup olehnya! Tapi sekali
lagi, untukku kamar mandi hanyalah sebuah ruang dimana aku bisa menjadi diriku,
menangis, berteriak, tertawa, atau hanya diam dan telanjang… kamar mandiku,
ruang yang memakan semua karyaku… yang mungkin seharusnya telah membawaku ke
dunia yang berbeda dari yang kumiliki sekarang. Dunia kata-kata dan dunia
imajinasi. Dunia dongeng yang dipenuhi harapan dan akhir kisah yang membuat
kita menyunggingkan senyuman di bibir. Kamar mandi, dia bisu, tapi dia bisa
membuatku berkata-kata. Dia cemburu padaku, pada diriku yang mempu
menuliskannya. Maka, dia menelan semua yang telah kukatakan padanya, sampai aku
tak mampu lagi mendengar syair itu didalam diriku. Kamar mandi itu… telah
menelannya.
mandi adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri. Ya,
karena aku sendiri dan telanjang di dalamnya. Tanpa tertutup seutas benangpun
di atas tubuh kecilku yang meliuk (uw, pasti kau sudah membayangkan betapa
seksinya aku J). Di kamar mandi itu
pula, aku bebas melakukan apapun yang aku mau, aku bisa bernyanyi, menjerit dan
suara air yang mengalir dari kran pun akan menenggelamkan suaraku bersamanya,
sehingga tak ada seorang pun yang mendengar jerit atau nyanyiku. Tangis juga
begitu, air mata itu hanya mengalir menjadi bagian dari air yang tumpah dari
baknya yang kepenuhan, menjadi bagian yang bahkan tak terlihat bedanya. Padahal
air mata itu jatuh dari organ manusia, yang bernyawa, tapi tak berbeda dengan
air yang mengalir pada pipa-pipa panjang menuju tuan kamar mandi.
Di kamar mandi, aku biasanya
menemukan ilham-ilham yang jadi bahanku untuk menulis suatu karya. Bukan, aku
belum pantas menyebutnya karya, mungkin aku akan menamai tulisanku sebagai isi
hati diatas kertas putih. Sayangnya, aku tidak mungkin membawa kertas dan pena
kedalam kamar mandiku, karena kamar mandi yang ada dirumahku, bukan kamar mandi
gedongan yang “kering”, tapi kamar mandi yang terdiri dari satu buah bak mandi
kotak, dan kloset jongkok didalamnya. Bagaimana aku bisa menulis? Jadi, yang
kulakukan hanyalah mencoba menyimpan ilham-ilham tadi kedalam memoriku yang
kerjanya seperti kereta pakuan ekspress,, cepat sekali berlalu dari satu
stasiun ke stasiun lainnya. Sehingga, ribuan ide cemerlang tadi akan segera
lenyap bersamaan dengan keringnya tubuhku yang dibalut handuk. Sial!
Kamar mandi bisa menjadi
sahabatku, tapi juga musuhku sekaligus. Bayangkan, betapa dia memberikan aku
ruang untuk berpikir mengenai hal-hal yang dapat aku tuliskan, tapi dengan
berakhirnya waktuku di kamar mandi, dia juga turut mengajak ide tersebut
tercebur ke dalam septiteng pembuangan. Ah! Menyebalkan sekali rasanya
mengetahui hasil pemikiran tersebut dimakan hidup-hidup olehnya! Tapi sekali
lagi, untukku kamar mandi hanyalah sebuah ruang dimana aku bisa menjadi diriku,
menangis, berteriak, tertawa, atau hanya diam dan telanjang… kamar mandiku,
ruang yang memakan semua karyaku… yang mungkin seharusnya telah membawaku ke
dunia yang berbeda dari yang kumiliki sekarang. Dunia kata-kata dan dunia
imajinasi. Dunia dongeng yang dipenuhi harapan dan akhir kisah yang membuat
kita menyunggingkan senyuman di bibir. Kamar mandi, dia bisu, tapi dia bisa
membuatku berkata-kata. Dia cemburu padaku, pada diriku yang mempu
menuliskannya. Maka, dia menelan semua yang telah kukatakan padanya, sampai aku
tak mampu lagi mendengar syair itu didalam diriku. Kamar mandi itu… telah
menelannya.
Comments
Post a Comment