Aku semakin jauh dari mengerti arti cinta
Semakin bingung saat mencari maknanya
Hari ini, pasangan muda itu menikah. Mengikrarkan janji setia sehidup semati. Mau berbagi. Bagi suka juga dukanya. Melewati hari bersama. Dengan penuh khidmat. Mereka berjanji, untuk saling menyanyangi. Tapi, sampai berapa lama? Berapa lama janji yang diikrarkan tersebut bertahan di dalam hati mereka? Seberapa sungguh mereka mengucapkannya? Seberapa besar perjuangan mereka untuk menepati janji tersebut?
Tiga hari kemudian, terdengar deru tangis sakit hati seorang wanita. Terlihat langkah gontai pria dewasa. Mereka masih muda. Seperti usia pernikahan mereka. Masih muda. Masih kecil. Masih ingusan. Masih harus banyak belajar dari kesalahan. Namun, rasanya mereka memilih mati sebagai bayi cinta. Mereka baru memutuskan untuk berhenti menghembuskan nafas-nafas kasih dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka bercerai. Dengan mudahnya.
Minggu lalu, dua insan bercinta. Begitu bahagia. Seolah-olah dunia ini milik mereka berdua saja. Tak dipedulikannya pengemis-pengemis cinta yang sedang menderita di sekitar mereka. Yang mereka tahu hanyalah cinta di dalam hati mereka. Asmara yang sedang membara. Rindu yang bergumul di dalam dadanya. Sentuh menyentuh. Ucap saling ucap. Cinta di mata. Cinta di hati. Cinta di bibir.
Esoknya, kulihat dua manusia saling teriak. Saling membentak. Saling menyalahkan. Dan tak ada yang mau diam. Keduanya saling marah dan penuh kebencian. Sang wanita menuduh kekasihnya berbagi hati dengan wanita lainnya. Sang pria tidak terima. Bukannya dia menunjukkan bahwa cinta hanya untuk wanita di depannya, malah didampratnya sang hawa.
Di hari lainnya, masih banyak aku lihat kisah bahagia dan juga sengsara karena perihal cinta. Ada pasangan yang baru saja merayakan pernikahan peraknya. 25 tahun bersama. Berjuang menghadapi kemelut dengan penuh keyakinan, bahwa ketulusan cinta mampu mengatasinya. Ada pula yang Cuma bisa diam seribu bahasa karena ditinggal mati kekasihnya. Ada pula diam karena begitu marah akan kegagalan komitmen yang pernah dibangun bersama. Ada yang meraung-raung tidak terima dipisahkan karena perbedaan agama, masalah keluarga dan sebagainya.
Aku? Takut. Begitu takutnya aku bersentuhan dengan cinta. Begitu trauma aku dikecewakan sang permata hati. Bukankah aku sudah berbahagia dengan hidupku sendiri? Itulah tanyaku dalam hati. Tanya yang sebenar-benarnya pembelaanku atas ketidakberanianku mengambil risiko. Tanya yang sebenar-benarnya adalah aku menutupi kebutuhanku akan afeksi dari seorang pecinta. Aku pernah kehilangan milikku yang paling berharga. Dan aku tak ingin pernah mengulangnya.
bukankah cinta itu seharusnya indah? Lalu mengapa ada perpisahan dengan kekasih tercinta? Apakah ini berarti cinta menyiksa? Lalu, mengapa tak jera orang-orang mengejar cinta?
Semakin bingung saat mencari maknanya
Hari ini, pasangan muda itu menikah. Mengikrarkan janji setia sehidup semati. Mau berbagi. Bagi suka juga dukanya. Melewati hari bersama. Dengan penuh khidmat. Mereka berjanji, untuk saling menyanyangi. Tapi, sampai berapa lama? Berapa lama janji yang diikrarkan tersebut bertahan di dalam hati mereka? Seberapa sungguh mereka mengucapkannya? Seberapa besar perjuangan mereka untuk menepati janji tersebut?
Tiga hari kemudian, terdengar deru tangis sakit hati seorang wanita. Terlihat langkah gontai pria dewasa. Mereka masih muda. Seperti usia pernikahan mereka. Masih muda. Masih kecil. Masih ingusan. Masih harus banyak belajar dari kesalahan. Namun, rasanya mereka memilih mati sebagai bayi cinta. Mereka baru memutuskan untuk berhenti menghembuskan nafas-nafas kasih dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka bercerai. Dengan mudahnya.
Minggu lalu, dua insan bercinta. Begitu bahagia. Seolah-olah dunia ini milik mereka berdua saja. Tak dipedulikannya pengemis-pengemis cinta yang sedang menderita di sekitar mereka. Yang mereka tahu hanyalah cinta di dalam hati mereka. Asmara yang sedang membara. Rindu yang bergumul di dalam dadanya. Sentuh menyentuh. Ucap saling ucap. Cinta di mata. Cinta di hati. Cinta di bibir.
Esoknya, kulihat dua manusia saling teriak. Saling membentak. Saling menyalahkan. Dan tak ada yang mau diam. Keduanya saling marah dan penuh kebencian. Sang wanita menuduh kekasihnya berbagi hati dengan wanita lainnya. Sang pria tidak terima. Bukannya dia menunjukkan bahwa cinta hanya untuk wanita di depannya, malah didampratnya sang hawa.
Di hari lainnya, masih banyak aku lihat kisah bahagia dan juga sengsara karena perihal cinta. Ada pasangan yang baru saja merayakan pernikahan peraknya. 25 tahun bersama. Berjuang menghadapi kemelut dengan penuh keyakinan, bahwa ketulusan cinta mampu mengatasinya. Ada pula yang Cuma bisa diam seribu bahasa karena ditinggal mati kekasihnya. Ada pula diam karena begitu marah akan kegagalan komitmen yang pernah dibangun bersama. Ada yang meraung-raung tidak terima dipisahkan karena perbedaan agama, masalah keluarga dan sebagainya.
Aku? Takut. Begitu takutnya aku bersentuhan dengan cinta. Begitu trauma aku dikecewakan sang permata hati. Bukankah aku sudah berbahagia dengan hidupku sendiri? Itulah tanyaku dalam hati. Tanya yang sebenar-benarnya pembelaanku atas ketidakberanianku mengambil risiko. Tanya yang sebenar-benarnya adalah aku menutupi kebutuhanku akan afeksi dari seorang pecinta. Aku pernah kehilangan milikku yang paling berharga. Dan aku tak ingin pernah mengulangnya.
bukankah cinta itu seharusnya indah? Lalu mengapa ada perpisahan dengan kekasih tercinta? Apakah ini berarti cinta menyiksa? Lalu, mengapa tak jera orang-orang mengejar cinta?
Comments
Post a Comment