Diam dan bisu seolah selalu menjadi teman terbaik bagi aku
dan dirinya. Hanya dirinya. Dia yang kutatap dari meja seberang di kantin, dia yang
kukagumi saat dia menendang bola itu ke gawang dan mencetak gol-gol hebat, dia
yang hanya tersenyum sesekali, tapi bukan kepadaku, walau sebenarnya aku tahu
dia adalah orang yang humoris.
Diam dan bisu selalu hadir, seperti layaknya sahabat, tapi
hanya untuk kami berdua. Saat di keramaian pesta, saat gelak dan tawa
terdengar, saat orang-orang berteriak dan bernyanyi, bahkan kami berdua turut
di dalam kegegapgempitaan itu, diam dan bisu masih bisa merayap masuk diantara
kami berdua.
Diam dan bisu seolah mengawasi kami, tak pernah melepaskan
pandangannya, tak pernah membiarkan kami untuk saling mengucapkan satu kalimat,
bahkan satu kata. Diam dan bisu hanya mengizinkan tatapan-tatapan atau senyuman
basa-basi yang menandakan bahwa kami saling mengenal, atau mungkin saling
menganggumi.
Tapi, lagi-lagi diam dan bisu yang menengahi keberadaan
kami. Bahkan saat jarak kami terpaut tidak sampai satu meter, kami tetap
ditengahi oleh diam dan bisu. Sampai suatu hari, dia menentang mereka berdua.
Dia mulai menunjukkan bahwa mereka tidak bisa selamanya menang, mereka takluk
padanya. Suara, kata dan kalimat mulai hadir menyapu diam dan bisu, bahkan kami
tertawa. Dan seketika kami lupa akan hadirnya diam dan bisu pada kehidupan lalu
kami. Tawa, canda, harapan dan kehangatan menjadi bagian dari kami, seolah
mereka takan pernah pudar dan pergi meninggalkan.
Diam dan bisu tidak mau tinggal diam, mereka telah teralu
lama menikmati keberadaannya ditengah-tengah kami. Diam mulai mengajak bisu
untuk berdiplomasi dengan perbedaan, kenyataan, dan rasa sakit. Mereka semua
tidak senang kami berada di kehidupan baru kami yang tidak lagi memperdulikan
mereka.
Lama mereka menyusun strategi, dan kini… gerilya mereka kembali
menang. Mereka kembali menjadi sahabat kami, merasuk kembali ke jiwa kami, ke
dalam harinya, hariku. Dia diam melihatku, aku bisu saat bertemu dengannya.
Perbedaan ada di depan matanya, kenyataan memaksa aku mengakui keberadaannya.
Dan akhirnya, rasa sakit diam-diam mengalir dalam darah kami, menyanyat nadi
dan urat kami, hingga akhirnya… kami mati tanpa kata apalagi tawa. diam membuat bisu. dan bisu adalah diam.
dan dirinya. Hanya dirinya. Dia yang kutatap dari meja seberang di kantin, dia yang
kukagumi saat dia menendang bola itu ke gawang dan mencetak gol-gol hebat, dia
yang hanya tersenyum sesekali, tapi bukan kepadaku, walau sebenarnya aku tahu
dia adalah orang yang humoris.
Diam dan bisu selalu hadir, seperti layaknya sahabat, tapi
hanya untuk kami berdua. Saat di keramaian pesta, saat gelak dan tawa
terdengar, saat orang-orang berteriak dan bernyanyi, bahkan kami berdua turut
di dalam kegegapgempitaan itu, diam dan bisu masih bisa merayap masuk diantara
kami berdua.
Diam dan bisu seolah mengawasi kami, tak pernah melepaskan
pandangannya, tak pernah membiarkan kami untuk saling mengucapkan satu kalimat,
bahkan satu kata. Diam dan bisu hanya mengizinkan tatapan-tatapan atau senyuman
basa-basi yang menandakan bahwa kami saling mengenal, atau mungkin saling
menganggumi.
Tapi, lagi-lagi diam dan bisu yang menengahi keberadaan
kami. Bahkan saat jarak kami terpaut tidak sampai satu meter, kami tetap
ditengahi oleh diam dan bisu. Sampai suatu hari, dia menentang mereka berdua.
Dia mulai menunjukkan bahwa mereka tidak bisa selamanya menang, mereka takluk
padanya. Suara, kata dan kalimat mulai hadir menyapu diam dan bisu, bahkan kami
tertawa. Dan seketika kami lupa akan hadirnya diam dan bisu pada kehidupan lalu
kami. Tawa, canda, harapan dan kehangatan menjadi bagian dari kami, seolah
mereka takan pernah pudar dan pergi meninggalkan.
Diam dan bisu tidak mau tinggal diam, mereka telah teralu
lama menikmati keberadaannya ditengah-tengah kami. Diam mulai mengajak bisu
untuk berdiplomasi dengan perbedaan, kenyataan, dan rasa sakit. Mereka semua
tidak senang kami berada di kehidupan baru kami yang tidak lagi memperdulikan
mereka.
Lama mereka menyusun strategi, dan kini… gerilya mereka kembali
menang. Mereka kembali menjadi sahabat kami, merasuk kembali ke jiwa kami, ke
dalam harinya, hariku. Dia diam melihatku, aku bisu saat bertemu dengannya.
Perbedaan ada di depan matanya, kenyataan memaksa aku mengakui keberadaannya.
Dan akhirnya, rasa sakit diam-diam mengalir dalam darah kami, menyanyat nadi
dan urat kami, hingga akhirnya… kami mati tanpa kata apalagi tawa. diam membuat bisu. dan bisu adalah diam.
Comments
Post a Comment