Hanya catatan saja.
Mungkin belaka, mungkin juga nyata adanya.
----
Teruntuk seorang Ibu di belahan pulau lain,
Selamat pagi Ibu, bergetar
jemariku menuliskan rangkaian kata yang membuncah tak sabar ingin kuungkapkan
kepadamu. Tetapi, tak sopan bila aku tak perkenalkan diriku terlebih dahulu. Aku
adalah seorang perempuan, yang katamu modern, yang hidup di zaman yang asing, tak kenal
nilai dan budaya seperti yang kau tahu. Mungkin seringkali kau mengelus
dadamu, mengetahui bahwa di dunia ini, ada pula manusia-manusia yang tak
sejalan dengan pola pikirmu, tentang dunia, tentang Tuhan, tentang keyakinan,
dan tentang makna hati dalam bercinta. Manusia-manusia yang tidak kau mengerti.
Aku adalah salah satunya, perempuan
dengan cara bersolek yang kau dan adatmu anggap tak seronok, tak pantas untuk
disandingkan di pelaminan dengan keturunanmu sampai nomor berapapun, seorang
perempuan yang tak dimengerti bagaimana bisa merendahkan martabatnya, yang disentuh tubuhnya oleh yang bukan menjadi mukhrimnya, bukan pasangan yang
meng-ijab qabul-nya, dan tak
pedulinya pula apabila ada satu dua orang lawan jenis yang menggenggam
lengannya, mengecup pipinya, sebagai tanda persahabatan. Dirimu tidak mengerti,
bagaimana hal ini menjadi lazim, bagaimana mungkin seorang bisa bergaul dan bergumul tanpa
batas-batas yang kau anggap sebagai nilai kesopanan.
Ibu, besar sungguh
jasamu, surga pula balasanmu telah membesarkan keturunan-keturunan yang baik
budinya, pekertinya, agamanya, dan terpujilah dirimu karena selalu menundukkan
kepalamu di sajadah bermesra dengan dzat Sang Pencipta. Ibu, maafkan perempuan
ini yang telah merusak mimpi dan harapanmu, mimpi tentang masa depan dari
anak-anakmu. Aku mencintai anak tengahmu, lelaki yang kau timang dahulu, kau
nyanyikan dengan ayat-ayat suci dari kitab yang tak pernah lekang dari
genggamanmu, kini kunyanyikan dengan musik-musik anak muda, dengan syair-syair
penuh kata cinta. Bermesra dengan nafsu dunia, bukan kesucian surga. Bukan sepertimu.
Ibu, aku pun paham kau
tak enak tidur, tak enak makan, tahu bahwa darah dagingmu bergaul dengan
perempuan macam itu. Perempuan yang kau sebut dalam doamu untuk tak pernah
dekat-dekat dengan tali persaudaraan, apalagi jadi menantumu kelak. Hampir
tersedak kau dalam nafasmu ketika kau lihat perempuan itu melekatkan kepalanya
di pundak anak lelakimu. Berdekatan seolah milik merekalah dunia yang luas ini.
Sedangkan, Lelaki itu adalah satu-satunya pengharapanmu yang membawakan dirimu
seorang perempuan yang pantas untuk dipinangnya menjadi anakmu yang tak
sedarah. Yang akan kau banggakan di hadapan para kerabat, perempuan shalihah,
berhijab, menutup aurat, dan berperangai surga di hidupnya yang fana. Yang memberikan
cucu, cicit, yang pantas, yang senilai, yang sesuai. Yang tak memalukan.
Ibu, maafkan perempuan
yang tak pernah mengerti hidupmu, yang tak acuhkan betapa kecewa dan
kekhawatiran dalam batinmu. Kau takut melihat dunia yang berbeda, yang tak
pernah kau sentuh, dan mungkin memang tak pernah ingin kau sentuh. Tabu,
katamu. Tapi itulah perempuan yang mencintai anakmu. Yang memberikan kasihnya
tanpa harap balas dan tak pernah lepas senyumnya jika sedang bercinta, bertukar
kata mesra, bergombal ria selayaknya anak muda kasmaran. Atau menangis
sejadi-jadinya, ketika patah hatinya mendengar kau tak pernah menerimanya,
membiarkan perempuan itu tersedu dan membasahi kain-kain putih di tempat
tidurnya.
Ibu, aku, si perempuan
itu tahu betul kau takut anakmu tak bahagia, karena aku yakin, ibu dan bapakku
juga begitu. Ibu dan bapakku ingin gadis kesayangannya diberikan tempat yang
nyaman kelak ketika ia sudah bersuami, mungkin meskipun entah kemana dibawanya
pula satu-satunya berlian yang mereka timang dengan kasih dan sayang tak
ternilai. Mungkin tak lagi ada di jejak tanah yang mereka injak, tak lagi ia
bernafas di ruang udara yang sama, tak lagi mereka melihat matahari terbit di
waktunya yang bersamaan. Tetapi, itulah ibu dan bapakku, yang mampu menerima
tegar permatanya di bawa pergi, dipelihara oleh pasangannya, nanti. Asalkan tahu
bahwa bahagia lah ia bersama lelaki itu nantinya.
Ibu, bisakah ibu
seperti itu?
Bisakah ibu terima
perempuan itu, karena sumpah mati aku lihat bola mata anak lelakimu menyiratkan
kasih yang begitu tulus di hadapanku. Dan tak pernah pula ia akan melupakan
dimana surganya terletak, di bawah kakimu yang tak pernah meminta balas jasa
meskipun Sembilan bulan kaki itu menjejak lebih berat, tak lupa pula ia bahwa
engkau bertahun rela terpejam tanpa lelap karena tangis lapar hausnya membangunkan
tidurmu.
Maaf ibu,
Bukan amarah daripada
surat ini aku tuliskan, hanya saja.. tak lagi sanggup aku berdiam.
Aku memang tidak
sempurna, bukan perempuan dambaan. tetapi, bukankah kita ini manusia yang katanya paling sempurna, namun tak punya daya menyempurnakan sesuatu yang dibuatnya? Dan meskipun dalam kadar yang tak sempurna, perempuan ini punya kasih sayang. Ganjil dan naïf sekali ya atas nama cinta itu, ibu.
Naïf sekali diriku.
Yang terkata modern ini
masih cukup mengagungkan cinta.
Ibu,
Demi cintamu kepada
lelaki kedua dalam hidupmu,
Mohon berikan izinmu
agar aku bisa menjaga dia selama dirinya bernafas.
Jangan kau merasa takut akan sesuatu yang adanya di masa yang tak pasti datang.
Jangan kau takut, lelakimu akan hilang.
Salam,
Perempuan modern.
Sebenarnya mau membalas kunjungan tapi bingung nulis di mana dan akhirnya nulis di comment box di sini.
ReplyDeleteSalken! ~~~\O/