kemarin sempet chatting bentar sama salah satu penulis dari komunitas yang tidak sengaja terbentuk di fesbuk, kalo sang suhu sih bilangnya "sastrawan facebook'. ya, jujur aja, udah hampir 2 bulan ini gw belum menghasilkan karya sastra apapun lagi.. tapi obrolan sama orang ini kemaren membuat gw menjadi menulis sebait2 rangkaian kata.. lalu kami setuju untuk nyoba bikin puisi paralel..
berikut cuplikan yang udah ada.. :)
“Tiga langkah. Cukup tiga langkah mundur yang sanggup membuat waktu seolah tak lagi bergerak maju. Stagnan. Memori itu mulai mengikatku, menjeratku. Kini aku menghadap lagi pada jerit-jerit luka. Luka yang pernah ada karena cinta. Lagi-lagi, menganga dan rasanya masih sama saja. Padahal tadinya aku piker, aku sudah mati rasa.” (Nanda Sani, 9 Febuari 2010)
“maka di kursi terasamu ini aku datang tanpa mengetuk pintu. Memilin jejak debu di lantai menjadi namamu juga riwayat yang sempat tercatat dari yang tanggal dan s empat tertinggal. Barangkali kita memang lelah menyibak kata bahkan saat kembali bertatap muka matamu telah menjelma luka. Maka aku datang saja tanpa reka-reka atau rencana. Memilih leleh di sudut waktu, mengingkari rindu dari denyutmu. Sampai kau datang, aku pergi bersama lesap angin yang enggan” (Galih Pandu Adi, 9 Febuari 2010)
“kurasa diam lebih bermakna. Bahasa kita berbicara dengan cara yang tak biasa. Ya, kelalahan atas semua kosakata yang ujungnya tak jua berhasil merajut cerita. Hening. Ketenangan yang kita cari, sedikitnya kudambakan dari pertemuan atas kepedihan, dimana dapat kau lihat ku mengibar bendera duka. Jika, kau pikir angin dapat membiaskanmu, maka jangan lupakan jejakmu yang masih terpampang oleh lukisan berdebu.” (Nanda Sani, 9 Febuari 2010)
"sedang yang terlempar disini hanya sepi. saat kau diam, desaf nafasku hanya gundah yang tertahan. mengekal di segala bisu. tapi merinduimu takkan sanggup ku kabarkan lewat bahasa apapun. tapi kenangan benar-benar menyergapku pada potret yang kian usang. potretmu..." (Galih Pandu Adi, 10 Febuari 2010)
"aku menunggu, kapan lagi kau ungkapkan rasa yang terrimbun di lubukmu. izinkan aku menyulan kenangan agar angan tak lagi jadi bayangan. aku cukup lelah menatap dinding yang tak balas tatapku, terpojok bimbang, meragu untuk menggapai bintangmu. kuakui, kristal rinduku masih berkilau seperti matamu yang dulu" (Nanda Sani, 10 Febuari 2010)
---------------------------------------
huahahaha.. sebenernya agak merasa tertindas kelas sih.. kayanya Tuan Galih Pandu Adi ini punya skill 10 tingkat diatas gw.. hihi.. tapi apa salahnya mencoba toh?? buktinya gw jadi termotivasi lagi untuk menulis lagi :)
berikut cuplikan yang udah ada.. :)
“Tiga langkah. Cukup tiga langkah mundur yang sanggup membuat waktu seolah tak lagi bergerak maju. Stagnan. Memori itu mulai mengikatku, menjeratku. Kini aku menghadap lagi pada jerit-jerit luka. Luka yang pernah ada karena cinta. Lagi-lagi, menganga dan rasanya masih sama saja. Padahal tadinya aku piker, aku sudah mati rasa.” (Nanda Sani, 9 Febuari 2010)
“maka di kursi terasamu ini aku datang tanpa mengetuk pintu. Memilin jejak debu di lantai menjadi namamu juga riwayat yang sempat tercatat dari yang tanggal dan s empat tertinggal. Barangkali kita memang lelah menyibak kata bahkan saat kembali bertatap muka matamu telah menjelma luka. Maka aku datang saja tanpa reka-reka atau rencana. Memilih leleh di sudut waktu, mengingkari rindu dari denyutmu. Sampai kau datang, aku pergi bersama lesap angin yang enggan” (Galih Pandu Adi, 9 Febuari 2010)
“kurasa diam lebih bermakna. Bahasa kita berbicara dengan cara yang tak biasa. Ya, kelalahan atas semua kosakata yang ujungnya tak jua berhasil merajut cerita. Hening. Ketenangan yang kita cari, sedikitnya kudambakan dari pertemuan atas kepedihan, dimana dapat kau lihat ku mengibar bendera duka. Jika, kau pikir angin dapat membiaskanmu, maka jangan lupakan jejakmu yang masih terpampang oleh lukisan berdebu.” (Nanda Sani, 9 Febuari 2010)
"sedang yang terlempar disini hanya sepi. saat kau diam, desaf nafasku hanya gundah yang tertahan. mengekal di segala bisu. tapi merinduimu takkan sanggup ku kabarkan lewat bahasa apapun. tapi kenangan benar-benar menyergapku pada potret yang kian usang. potretmu..." (Galih Pandu Adi, 10 Febuari 2010)
"aku menunggu, kapan lagi kau ungkapkan rasa yang terrimbun di lubukmu. izinkan aku menyulan kenangan agar angan tak lagi jadi bayangan. aku cukup lelah menatap dinding yang tak balas tatapku, terpojok bimbang, meragu untuk menggapai bintangmu. kuakui, kristal rinduku masih berkilau seperti matamu yang dulu" (Nanda Sani, 10 Febuari 2010)
---------------------------------------
huahahaha.. sebenernya agak merasa tertindas kelas sih.. kayanya Tuan Galih Pandu Adi ini punya skill 10 tingkat diatas gw.. hihi.. tapi apa salahnya mencoba toh?? buktinya gw jadi termotivasi lagi untuk menulis lagi :)
Comments
Post a Comment